Pendekatan Dimensional Geert Hofstede
Hofstede menurunkan konsep budaya dari program mental yang dibedakan dalam tiga tingkatan (Hofstede 1980: 15), yaitu: 1) tingkat universal, yaitu program mental yang dimiliki oleh seluruh manusia. Pada tingkatan ini program mental seluruhnya melekat pada diri manusia, 2) tingkat collective, yaitu program mental yang dimiliki oleh beberapa, tidak seluruh manusia. Pada tingkatan ini program mental khusus pada kelompok atau kategori dan dapat dipelajari. 3) tingkat individual, yaitu program mental yang unik yang dimiliki oleh hanya seorang, dua orang tidak akan memiliki program mental yang persis sama. Pada tingkatan ini program mental sebagian kecil melekat pada diri manusia, dan lainnya dapat dipelajari dari masyarakat, organisasi atau kelompok lain.
Dalam ilmu sosial, pada umumnya tidak dapat dilakukan pengukuran suatu konstruk secara langsung, sehingga paling tidak harus digunakan 2 pengukuran yang berbeda. Program mental ini oleh Hofstede dijelaskan dengan dua konstruk yaitu value (nilai) dan culture (budaya). Nilai didefinisikan sebagai suatu tendensi yang luas untuk menunjukkan state of affairs tertentu atas lainnya, yang pengukurannya menggunakan belief, attitudes, dan personality. Sedangkan culture didefinisikan oleh Hofstede (1991: 4) sebagai program mental yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (action) atau disebut dengan “software of the mind”.
Pemrograman ini dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian dilanjutkan dengan lingkungan tetangga, sekolah, kelompok remaja, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang dianut oleh suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, sampai pada lingkungan masyarakat luas. Pemrograman mental atau budaya ini dikembangkan melalui suatu sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat, kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma-norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial.
Hofstede membuat index yang mengukur negara-negara dalam 5 dimensi budaya berikut ini, yaitu: Power Distance, Individualism vs Collectivism, Uncertainty Avoidance, Masculinity vs Femininity, dan Long Term Orientation.
Skor Indonesia untuk Power Distance termasuk tinggi (78). Ini berarti masyarakat Indonesia cenderung tergantung pada hirarki, ada perbedaan hak yang besar antara penguasa dengan non penguasa, serta kontrol yang kuat pada pemimpin. Masyarakat dengan tingkat Power Distance yang tinggi akan cenderung menjadi pencari opini (opinion seeker) dibanding masyarakat dari budaya dengan Power Distance yang rendah. (Kau & Jung, 2004)
Di sisi Individualism vs Collectivism, Indonesia, mempunyai skor yang rendah (14). Ini berarti, Indonesia adalah masyarakat yang sangat kolektif. Budaya kolektif berarti cenderung lebih menyukai kerangka sosial yang kuat di mana individu diharapkan untuk mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat dan kelompok di mana dia berada. Masyarakat dari budaya yang tinggi collectivism-nya akan cenderung lebih terpengaruh oleh orang lain (dalam hal ini, reference group, atau influencer). (Kau & Jung, 2004).
Menilik dari index Hofstede, berarti Indonesia sebenarnya jauh lebih 'social' dari negara-negara barat yang menjadi penemu social media.
- Cara bicara orang Jawa sangat lembut, sedangkan orang Sumatera berbicara dengan keras
- Tradisi atau kebudayaan yang berbeda
- Orang jawa melakukan aktivitas dengan perlahan, sedangkan orang Sumatera melakukan aktivitas dengan cepat
- Orang Jawa melakukan komunikasi dengan basa-basi, sedangkan orang Sumatera to the point
- Orang Jawa memiliki toleransi terhadap orang lain jika dibandingkan dengan orang Sumatera
- Orang Sumatera mayoritas merantau sedangkan orang jawa bekerja di daerahnya sendiri
Ditulis Oleh Ultari Addie Syahputri (2067290147)
Fakultas Psikologi UPI YAI
0 Ocehan:
Posting Komentar