Tulisan ini ane tuliskan untuk mengikuti lomba kisah inspiratif dan ane dedikasikan kepada teman seperjuangan beberapa tahun terakhir.
Hari ini merupakan hari yang ditunggu
oleh Dhiba setelah sekian lama menanti. Perjuangan pun baru akan dimulai hingga
tiba waktunya berakhir pada suatu hari nan indah bagi semua orang. Seleksi saat
itu membawa Dhiba ke perguruan tinggi yang didambakan oleh dirinya dan
rekan-rekan sekolahnya.
“silahkan memperkenalkan nama kalian
dan asal sekolah” ujar kakak senior. “nama saya Dhiba caroline simanjutak dari
SMA strada Tangerang” singkat Dhiba. Perkenalan pun berlangsung sekitar 30
menit dari mahasiswa dan mahasiswi baru pada kelompok ‘microwave’. Dan
dilanjutkan dengan membagi kelompok kecil yang beranggotakan 5 sampai 6 orang.
Saat ini Dhiba mendapat kelompok yang
beranggotakan 6 orang dengan 2 laki-laki dan 4 perempuan. Diantara mereka tidak
ada yang saling mengenal sehingga mereka pun berinisiatif untuk berkenalan
kembali. “Raid”, “Cicit”, “Dina”, “Rasya”, “Lita” dan “Dhiba” sahut mereka
secara bergantian. Setelah perkenalan tersebut, mereka menentukan rencana untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh para senior.
“ban ditarik itu bandrek tau” jawab Cicit.
“oiya,bener juga. Hebat kamu” timpal Dina. Dan yang lainnya sedang sibuk dengan
karton dan gunting yang berada dihadapan mereka untuk membentuk sebuah
microwave dan bintang besar. “warna merah aja microwavenya” sahut Raid. “gak
ada Id kartonnya, cuma ada warna hijau nih. Gpp ya?” tanya Lita. “yaudah gpp,
seadanya aja deh” jawab Raid lagi.
Setelah semua tugas sudah selesai
terjawab dan pembagian tugas sudah terlaksana, mereka berenam bercanda ria
dengan saling melontarkan leluconan. “parcel apa yang ada dipinggir jalan?”
tanya Rasya. “parcel natal Cikini” jawab Dhiba. “salah salah. Hayo nyerah gak?”
ledek Rasya. “aku tau jawabannya itu parcel lele” sahut Cicit. “wah hebat kamu
Cit, klo soal tebak-tebakan pasti bisa jawab” puji singkat dari Rasya.
Selama masa Orientasi Pengenalan Kampus yang berlangsung 3 hari sejak
hari senin, semua mahasiswa dan mahasiswi dipulangkan sekitar jam 5 sore. Dan
pada hari terakhir kelompok Dhiba memutuskan setelah pulang OSPEK untuk main
kerumah Lita yang diantara mereka tidak ngekost seperti yang lainnya karena
Lita asli Surabaya.
“mau minum apa kalian?” tanya Lita sebagai tuan rumah. “apa
aja yang penting dingin deh” pinta Cicit. “ok lah. Tunggu sebentar teman dan
yang mau shalat wudhu disitu aja arah kiblat ke lemari ya” jelas Lita sambil
mengambilkan mukena, sarung dan sajadah. Mereka shalat dengan berjama’ah
kebetulan yang cowok memakai celana panjang dan hanya Cicit yang shalat karena
Dhiba non muslim. Sambil menunggu, Dhiba mengelilingi kamar Lita sambil melihat
berbagai foto yang di letakkan pada dinding yang berbentuk persegi tersebut.
“kamu ngapain Dhib? Kamu gak shalat? ,mukenanya kurang ya?”
tanya Lita secara beruntun. “aku lagi lihat foto-foto kamu sambil menunggu
mereka shalat. Aku kan non muslim Lit” jawab Dhiba sambil memegang salah satu
bingkai foto milik Lita. “o yaudah ini minum dulu aja” singkat Lita dan
memberikan segelas sirup.
Seusai shalat magrib, lelucon waktu
dikampus dilanjutkan kembali dikediaman Lita. Ditengah tawa dan canda, mereka
bercerita tentang asal kota masing-masing. Ternyata diantara berenam tidak ada
satu pun yang berasal dari kota yang sama. Raid dari Padang, Cicit dari
Yogyakarta, Dina dari Bandung, Rasya dari Kalimantan, Dhiba dari Jakarta
sedangkan Lita asli dari Surabaya. Perbincangan malam itu ditutup dengan alasan
mereka mengambil jurusan Teknik di Institut Teknologi Sepuluh November. Dan
berlima segera bergegas kembali ke asrama yang berdampingan di kampus dengan mengendarai
kendaraan umum.
“kita ruangan berapa sih mata kuliah
pertama? Tanya Dina. “aku belum paham nih cara baca kelasnya. Gimana sih ?
tanya Dhiba. “ya tinggal baca aja. Digit pertama menunjukkan lantainya dan dua
digit terakhir menunjukkan ruangannya” jelas Cicit. “berarti kita dimana
sekarang?” tanya Dina lagi. “kita lantai 4 ruangan T3” jelas Cicit sambil
menunjuk arah kelasnya.
Seiring berjalannya waktu kuliah,
kedekatan mereka berenam semakin erat satu sama lainnya bahkan tak jarang rumah
Lita menjadi tempat persinggahan dan bermalam bagi semuanya. Orang tua Lita pun
mengenal baik mereka berenam. Selain itu, ternyata mereka memiliki hobi yang
sama yaitu jalan-jalan keberbagai pelosok di kota masing-masing.
“besok libur kan kampus 3 hari?
bagaimana klo kita mengelilingi Surabaya menggunkan kendaraan umum? Usul Dhiba
yang memang senang liburan paket murah. “boleh tuh. Tapi naik mobil aku aja itu
akan jauh lebih murah” sahut Lita. “klo memang kamu tidak keberatan, boleh aja
sih Lit” tambah Raid. “yaudah kita ngumpul disini ya setelah shalat shubuh”
jelas Lita.
Semua menyiapkan diri dan
perlengkapan yang dibutuhkan serta mengumpulkan tas pada kamar di asrama Cicit
karena kamarnya memang lebih luas dibandingkan yang lain. Dan tak lupa mereka
pun menyiapkan beberapa makanan ringan dan obat-obatan yang sekiranya
dibutuhkan.
“Lit, kayanya kita dianter ke
terminal aja deh. Soalnya gak seru banget klo kita naik mobil mewah” pinta
Dhiba.”gimana yang lainnya?” tanya lita. “iya juga sih, rencana kita tuh
mengunjungi sebuah desa kan biar seru kita jalan kaki aja” jelas Rasya. “ok
deh. Pak anter kami ke terminal aje deh” pinta Lita kepada supir keluarganya.
“iya mbak Lita” jawab Pak Rofi.
Perjalanan ke desa Kenjeran dilalui
sekitar 1 jam. Disana mereka mencari rumah warga yang bisa disinggahin dalam
beberapa hari. Selain itu mereka bisa membagi ilmu kepada anak-anak di desa
tersebut. Pilihan mereka tunjukkan kepada rumah
pemuka agama “asalamualikum wr wb permisi pak, kami dari mahasiswa dan
mahasiswi ITS kami ingin beberapa hari singgah di desa ini. Boleh kami bermalam
dirumah bapak? Tanya Rasya yang yang terkenal berani karena mengikuti BEM. “iya
nak, silahkan saja. Perkenalkan nama bapak H. Gofurahman dan ini istri saya”
jelas pak gofur dan memperkenalkan istrinya. “saya Rasya, Raid, Cicit, Dina,
Lita dan Dhiba” ucap secara bergantian.
Allahu akbar allahu akbar … Adzan
dzuhur berkumandang dan pak Gofur menyiapkan ruangan untuk Rasya dan
teman-temannya melakukan shalat. “kamu sedang halangan nak?” tanya bu Gofur.
“tidak bu. Saya non muslim” singkat Dhiba. “oh maaf nak, ibu kira kamu muslim.
Sepertinya kamu sedang ada masalah?” tanya Ibu lagi. “gpp bu sudah banyak yang
mengira seperti itu. tidak bu, ada dalam kondisi baik kok” jelas Dhiba.
“baiklah. Ibu tinggal dulu ya nak” pinta Ibu Gofur dan langsung menuju ruangan
shalat.
“sudah sekian kali aku merasakan ini
dan apakah iya muka ku merupakan muslim” batin Dhiba sambil memandangi
pemandangan dari balik jendela. Ayah Dhiba memang non muslim namun ibu Dhiba
seorang muslim. Hingga saat ini Dhiba tidak bisa menentukan pilihannya karena
semua hal harus mengikuti perkataan dari ayahnya kecuali pilihan jurusan kuliah
dan kampus saat ini. Hal itu pun Dhiba lakukan dengan pemberontakan terhadap ayahnya. “dhib, kamu ngapain disini?”
tanya Lita. “aku sedang menikmati udara dan nuansa disini, indah banget” jelas
Dhiba.
Sore ini Rasya dan teman-teman
keliling desa dengan ditemani ibu Gofur. Banyak sekali hal yang dipelajari di
desa ini. “kamu kenapa nangis Dhib?” tanya Raid. “gpp. Aku Cuma terharu sama
anak kecil yang mengaji di surau itu” jelas Dhiba sambil mengusap pipinya.
Setelah puas berkeliling dan shalat as’ar bersama di surau tersebut maka
langsung balik lagi ke rumah bu Gofur dan dilanjutkan dengan makan malam serta
magrib dan isya.
“ibu, boleh aku cerita sesuatu dan
meminta pendapatmu?” tanya Dhiba. “silahkan nak, selagi bisa ibu akan bantu.
Apakah ada hubungannya dengan tadi siang dan tangis mu di sore hari?” tanya ibu
Gofur. “iya bu. Sebenarnya aku ingin sekali masuk muslim mengikuti jalan ibuku.
Aku dan ibu tidak pernah bisa menentukan kehidupan kami, semuanya ayah yang
menentukan. Namaku yang ibu berikan ‘Siti Dhiba Al-banna’ namun saat ayah tau
langsung diganti menjadi ‘Dhiba Caroline Simanjutak’. Hingga akhirnya aku tak kuat
dan memutuskan untuk kuliah diluar Jakarta walau aku tak tega melihat ibu
sendiri dan jauh dariku. Mulai saat itu aku tak lagi dianggap sebagai anak oleh
ayah” cerita Dhiba dengan dibanjiri air mata. “nak, pulanglah dan tengok ibu
mu, kasihan Beliau. Jika memang kau yakin dengan agama Islam maka lakukanlah
sehingga kamu bisa meminta pertolongan kepada Allah SWT untuk meluluhkan hati
ayah mu dan menerima mu kembali” jelas ibu Gofur dengan penuh ketenangan.
Setelah pembicaraan malam itu, Dhiba
mulai yakin dengan apa yang harus dilakukan karena selama ini Dhiba bingung
harus cerita kepada siapa dan baru kali ini Dhiba berani mengungkapkan. “pak
Gofur, bisa kah menjadikan aku seorang muslim?” pinta Dhiba yang didamping ibu
Gofur. “allahu akbar. Bisa nak namun bagaimana dengan keluarga mu?” tanya pak
Gofur. “aku ingin ibu dan aku bisa pergi ke surga Allah SWT serta ayah aku
yakin suatu hari pasti bisa menerima kami” jelas Dhiba penuh kekuatan.
“insyaallah nak, kapan kamu menginginkan untuk menajdi muslim?” tanya lagi.
“sekarang juga pak” singkat Dhiba.
Dhiba ditemani teman-temannya serta
Ibu Gofur menuju surau terdekat agar bisa disaksikan dengan pemuka agama lain
serta warga sekitar. “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna
Muhammadan rasuulullaah” tuntun pak Gofur kepada Dhiba. Serta ada beberapa doa
lainnya serta Dhiba diberikan satu perlengkapan shalat, pakaian serta kerudung dan
buku-buku tentang islam.
Usai peristiwa di Surau, Dhiba dan
rekan-renkan langsung balik lagi menuju kediaman Lita. “terima kasih bu Gofur
telah meyakinkan aku” ucap Dhiba. “iya bu, makasih juga sudah mengizinkan kami
bermalam disin” sahut Raid dan Dina. Ibu dan bapak Gofur mengantar hingga
terminal terdekat.
“kami bangga dengan mu Dhiba dan kami
akan terus mendukungmu” ucap teman-teman
sepanjang perjalanan. Sesampai di terminal, Lita meminta pak Rofi untuk
menjemput seperti pertama kali diantarkan. Mereka semua bermalam dirumah Lita
kembali untuk menghabiskan hari libur yang terakhir sambil mengajarkan Dhiba
shalat serta mendukung Dhiba untuk segera menengok ibunya.
0 Ocehan:
Posting Komentar